Feeds:
Posts
Comments

Pernah denger istilah micromanagement ? Belum pernah ? Hehehehe, jangan khawatir…. ini memang istilah yang jarang diucapkan. Walaupun jarang diucapkan tetapi kemungkinan besar micromanagement ada di sekitar kita. Mungkin saja anda sedang mengalaminya.

OK, OK…. sebelum anda makin penasaran saya akan langsung jelaskan.

Entah posisi anda sebagai pemimpin maupun anak buah, anda pasti dihadapkan dengan berbagai gaya kepemimpinan. Orang yang memimpin orang lain biasanya disebut sebagai atasan (supervisor). Para pemimpin menerapkan metode metode tertentu dalam mengendalikan hal hal yang menjadi tanggungjawab mereka. Istilah yang populer adalah ”management”, dan orang yang menerapkan management disebut sebagai ”manager”.

ImageChef.com - Custom comment codes for MySpace, Hi5, Friendster and more

Trus apa dong yang dimaksud dengan Micromanagement ?

Sabar… sabar…. 🙂

Anggaplah anda seorang manager atau boss, dan anda memerintahkan anak buah anda untuk melakukan suatu pekerjaan dalam kurun waktu tertentu (alias ada deadline-nya). Nah, saya mau tau…..apa yang akan anda lakukan selama anda menunggu anak buah anda mengerjakan apa yang anda perintahkan ? Apakah anda akan memberikan perincian detail apa yang harus dia lakukan dan selalu checking tiap satu jam mengenai progress dari pekerjaan mereka ? Atau anda akan duduk dan menunggu anak buah anda memberikan laporan mengenai hasil pekerjaan mereka (tentunya Anda sambil mengerjakan hal hal lain, ga cuma ongkang ongkang kaki)?

Apabila anda mengerjakan yang pertama, maka besar kemungkinan anda adalah seorang micromanager. Micromanager adalah seorang manager yang tidak bisa melewatkan detail detail kecil.

Eits eits eits…. jangan sewot dulu.

Memang benar, salah satu tugas manager adalah menjalankan fungsi Controlling. Tapi controlling yang terlalu detail justru tidak akan efektif.

Seorang micromanager biasanya membawa atribut atribut positif dalam management (seperti attention to detail dan hands-on attitude) ke kutub yang ekstrim. Bisa jadi karena sang micromanager sangat control-obsessed, atau karena merasa harus mendorong orang orang di sekitarnya agar sukses. Hal ini bisa mengakibatkan orang orang disekitarnya justru merasa tidak berdaya.

Lha kok bisa ?

Ya bisa dong. Anak buah jadi merasa tidak pernah dipercaya oleh atasan. ”Ga peduli seberapa bagus gue kerja, tetep aja ada yang kurang di mata si boss”. Anak buah akan merasa tertekan dan marah (dan biasanya dia marah di belakang anda). Jika keadaan tersebut tidak diperbaiki ending-nya ga akan mengejutkan kalo akhirnya mereka resign.

Dan rasanya kita semua sudah tahu bahwa jika sebuah perusahaan mengalami tingkat turn-over karyawan yang sangat tinggi maka biaya overhead akan besar juga dan akan menjadi lingkaran setan yang membuat perusahaan tersebut sukar berkembang. Satu satunya cara untuk memperbaiki ini adalah dengan merubah dan meninggalkan micromanagement tersebut.

Kita lihat dulu yuk simptom untuk micromanagement tersebut

Seorang pemimpin yang (mungkin secara sadar maupun tidak sadar) melakukan Micromanagement biasanya ditandai dengan beberapa hal, antara lain ;

  • Agak sukar melakukan delegasi
  • Selalu ingin mengawasi pekerjaan / project orang lain
  • Selalu memperbaiki detail kecil daripada melihat big picture.
  • Mengambil kembali pendelegasian sebelum tugas itu selesai jika menemukan sebuah kesalahan
  • Membuat orang lain enggan mengambil keputusan tanpa campur tangannya.

Hei Boss, daripada anda ngurusin detail pekerjaan orang lain, kenapa juga anda ga biarkan orang lain mengerjakan tugasnya dan anda cari kegiatan lain yang lebih produktif ?

Coba kita test yuk. Berikan anak buah anda tugas, dan tinggalkan dia sampai dengan deadline. Jangan ganggu dia dengan kebiasaan anda mengawasi dia. Kalau dia ternyata bisa perform dengan baik (atau bahkan lebih baik daripada yang anda harapkan), maka itu adalah tanda bahwa anda selama ini terlalu mengekang mereka dan ternyata anda salah,

Pada dasarnya para pegawai memiliki kemampuan untuk bekerja dan memiliki rasa percaya diri untuk bertanggungjawab atas pekerjaannya. Tetapi micromanagement akan membunuh itu semua. Pegawai akan merasa canggung dan kurang percaya diri dengan kemampuannya. Apabila hal ini terjadi maka salah satu dari dua kemungkinan ini akan dilakukan oleh si pegawai, yaitu selalu meminta petunjuk kepada atasan atau dia akan nekad memaksakan melakukan semampunya dan membawa hasil yang juga tidak maksimal.

Dan dalam dua kasus tersebut di atas, maka si micromanager akan merasa mendapat bukti bahwa tanpa intervensi mereka secara keseluruhan maka semuanya tidak akan berjalan sesuai dengan yang dikehendakinya, ”Tuh khan, gue bilang juga apa…. anak buah gue mah ga ada yang becus kerjaannya. Ga tau deh gimana jadinya nih kantor kalo ga ada gue”. Huhuhuhuhuuuuy. Makin gawat deh boss kalo gini ceritanya.

Kalo udah begitu, kira kira micromanagement itu bakal bagus atau jelek ?

Seorang manager yang efektif akan mempersiapkan banyak hal agar anak buahnya untuk maju dan sukses. Tetapi di sisi lain, seorang micromanager justru akan menghambat anak buahnya dengan tidak memberikan kesempatan bagi mereka untuk membuat keputusan dan bertanggungjawab atas keputusannya. Padahal justru dengan terlibat langsung dalam pengambilan keputusan dan konsekwensinya tersebutlah maka seseorang akan berkembang.

Manager yang baik akan empowering anak buahnya untuk berkembang. Manager yang buruk justru akan dispowering anak buahnya dengan memberikan banyak rintangan untuk maju. Dan anak buah yang tidak diberikan banyak peluang untuk maju justru akan menjadi anak buah yang tidak efektif dan selalu membutuhkan waktu dan energi dari atasannya.

Kalau bawahannya cuma satu sih ga apa apa. Nah kalo anak buahnya banyak gimana dong ? Berarti waktu dan energi si atasan harus dikalikan dengan jumlah anak buahnya untuk menghitung berapa besar kerugian perusahaan atas sistem micromanagement tersebut. Kalau sampai itu terjadi, sudah dapat dipastikan si atasan ga akan punya waktu untuk berkoordinasi dengan manager lainnya dan melihat permasalahan secara lebih global (big picture). Dia akan selalu sibuk ngurusin team-nya.

Trus, gimana cara memperbaikinya ?

Langkah awal yang harus dilakukan adalah agar si pelaku micromanagement mengetahui dampak buruk dari apa yang dilakukannya dan membuat dia melihat dari sisi lain.

Ini sama aja kayak memberitahu seseorang untuk berhenti merokok. Kalau si perokok ga merasa butuh untuk berhenti merokok maka himbauan jangan merokok cuma akan masuk kuping kiri keluar kuping kanan, Kalau si pelaku sudah sadar dan merasa butuh untuk berubah maka itu adalah awal yang bagus. Tetapi awal yang bagus itu barulah 10% dari perjalanan jauh. Jadi, jangan senang dulu di tahap ini.

Langkah selanjutnya adalah mempertemukan semua pihak untuk duduk sama sama dan membicarakan permasalahan tersebut. Pertemuannya mungkin ga akan cukup dalam satu atau dua pertemuan, tetapi bisa berkali kali sampai semua ”penyakit bisa disembuhkan”. Sama toh dengan minum obat ? Untuk penyakit yang sudah parah ga mungkin cuma minum obat satu kali dan langsung sembuh. Harus (misal) 4 x 2 tablet per hari selama 2 minggu dan setelah makan.

Dalam pertemuan ini, si manager harus mau meminta maaf atas sikapnya selama ini dan ia harus dapat meyakinkan anak buahnya bahwa ia menginginkan perubahan. Tentu saja hal ini akan sulit karena anak buah ga akan langsung percaya dan sudah pasti mereka ga akan secara langsung memberikan feedback. Sudah dapat ditebak bahwa anak buahnya akan mengambil sikap ”Kita liat aja dulu…..paling paling cuma diomongan doang”.

Hehehehehe

Jangan nyerah Boss…… masak digituin sama anak buah aja langsung males ? Tunjukin bahwa anda ga cuma bisa ngomong tapi juga bisa membuktikan janji anda.

Nah yang paling penting selanjutnya adalah melakukan komitmen yang sudah dibuat. Manager harus mau berusaha untuk mulai memberikan power yang lebih besar kepada anak buahnya. Dia harus menahan egonya untuk jadi perfectionist.

Dan karena yang namanya perubahan itu ga cuma membutuhkan dari satu orang tetapi seluruh team, maka peran aktif dari anak buah pun diperlukan agar perubahan itu bisa diwujudkan secepatnya.

Jika anda berada dalam posisi sebagai anak buah, maka bantulah atasan anda dengan ;

  • Bantu boss anda agar mau mendelegasikan tugas ke anda secara efektif dengan meminta semua informasi yang anda butuhkan di awal, dan lakukan review bersamanya (dengan inisiatif si anak buah) selama pengerjaan tugas.
  • Mengajukan diri untuk melakukan tugas tugas yang anda yakin anda mampu melaksanakannya. Ini akan meningkatkan kepercayaannya kepada anda dan pendelegasian tugas kepada anda.
  • Pastikan bahwa anda akan mengkomunikasikan progress kepadanya secara teratur, untuk mencegahnya selalu mencari informasi hanya ketika dia sedang tidak punya untuk sementara informasi yang dibutuhkannya.
  • Konsentrasi untuk membantu atasan anda untuk merubah kebiasaan micromanagement perlahan lahan. Ingat, boss anda khan juga cuma manusia yang pasti berbuat salah.

Peran aktif dari kedua belah pihak (atasan dan bawahan) sangat dibutuhkan. Perubahan ini ga akan sukses kalau salah satu pihak enggan membantu pihak lain.

Ingatlah, minum obat itu emang ga enak. Pahit. Tapi setelah sembuh, anda akan bisa merasa lebih enak daripada ketika anda sakit. Anda akan bisa lebih produktif setelah masa penyembuhan selesai.

Stop complaining. Start to change.

Tulisan diinspirasikan dari http://www.mindtools.com

ImageChef.com - Custom comment codes for MySpace, Hi5, Friendster and more Hampir di tiap hari buruh se dunia (MayDay… 1May), ada banyak sekali demo besar besaran. Ga cuma di Jakarta…. hampir di seluruh kota besar di Indonesia ada demo buruh. Dan ga cuma di Indonesia, hampir di seluruh dunia ada demo buruh. Salah satu point yang diusung oleh para pendemo adalah dihapuskannya sistem kerja outsourcing, dan sistem kerja kontrak. Emang buruh buruh itu ga ada kerjaan yah, kok pada demo ?
Well, let’s see…..

Kenapa sih ada Outsourcing ?

Begini ceritanya….

Karyawan adalah aset perusahaan. Dan karena karyawan harus dibayar maka semua yang menyangkut karyawan khan dicatat sebagai expenses (pengeluaran) maka perusahaan akan mencoba menghemat segala sesuatu yang bersifat sebagai pengeluaran.

Dan karena memelihara karyawan memiliki ongkos yang sangat besar (ga cuma gaji bulanan, tapi juga segala kewajiban lainnya) maka memelihara karyawan harus dilakukan secara hati hati. Sebagai contoh, kalau terjadi bangkrut dan harus mem-PHK karyawan, maka kewajiban perusahaan terhadap karyawan akan sangat besar. Sehingga untuk mengurangi kewajiban tersebut, biasanya perusahaan tidak akan memelihara banyak orang dalam struktur organisasinya. Dengan kata lain, memelihara sedikit orang dalam organisasi adalah upaya perusahaan untuk mengurangi resiko terhadap ketidakpastian.

Tetapi karena banyak pekerjaan yang harus diselesaikan, maka kebutuhan akan tenaga kerja harus tetap dipenuhi. Caranya gimana ? Yah outsourcing dong.

Outsourcing adalah mengambil tenaga kerja dari perusahaan luar untuk bekerja dalam struktur organisasi perusahaan kita (itu kalo kata saya lho).

Bayaran Tenaga Outsourcing.

Sebuah perusahaan yang ga mau repot memelihara karyawan (dan lebih pengen untuk menyewa jasa outsourcing) biasanya menghadapi trade off berupa membayar per tenaga kerja lebih mahal daripada jika perusahaan tersebut memelihara orang yang sama. Misalkan…. untuk seorang cleaning service biasanya sebuah perusahaan menggaji antara 1 – 1.2 juta rupiah. Tetapi jika perusahaan tersebut memakai jasa outsourcing, maka bisa jadi perusahaan tersebut harus merogoh kocek sebesar 2 – 2.5 juta rupiah.

Lho kok jadi kayak double gitu pengeluarannya ? Apa ga rugi tuh perusahaan ?

Well…. secara nominal uang yang dikeluarkan sih emang rugi. Tapi perusahaan tersebut mendapat benefit lain seperti yang sudah diceritakan di atas. Ga repot proses rekrutment, ga mesti pelihara banyak orang HRD, ga mesti ngasih THR, jaminan replacement 1 on 1 dari penyedia jasa outsourcing, dll dll dll.

Nah, si perusahaan penyedia jasa outsourcing kenapa mesti nge-charge sedemikian besar untuk tiap orang yang “diperdagangkan” ?

Yah simple dong. Pertama dia (maksudnya perusahaan jasa outsroucing) harus membayar gaji karyawan yang bersangkutan. Dia juga mesti bayar THR. Dia mesti nyediain replacement…… in short…. dia harus nanggung resiko yang dilepaskan oleh perusahaan pengguna jasa outsourcing. Selisih yang dia terima dari pengguna dan yang dia berikan kepada pekerja adalah nilai jasa terhadap resiko tersebut. Belom lagi dia harus membayar gaji karyawannya sendiri (biasanya untuk bagian administrasi dan marketing).

Siapa aja yang diuntungkan ? Siapa yang dirugikan ?

Kalo menurut saya nih yah… jawaban untuk keduanya adalah sama.

Siapa yang diuntungkan ? –> Semua pihak.

Siapa yang dirugikan ? –> Semua pihak juga.

Lho kok gitu ? Begini begini begini…..

Udah jelas khan bahwa perusahaan pembeli jasa outsourcing mendapatkan keuntungan dengan menukarkan resiko mereka dengan sejumlah uang ?

Udah jelas khan bahwa perusahaan penyedia jasa outsourcing mendapatkan keuntungan dari menjual tenaga kerja dengan harga yang tinggi (sebagai trade-off untuk resiko yang mereka ambil)?

Nah, dari sisi si tenaga kerja juga dapet untung dong. Karena kalo ga ada sistem outsourcing ini, maka si perusahaan khan udah kadung males melihara pegawai… wicis artinya peluang seseorang masuk bekerja di perusahaan semakin kecil –> pengangguran. Nah, dengan adanya bisnis outsourcing, maka ini adalah pintu untuk membuka kesempatan bekerja bagi banyak orang.

Dengan tenaga kerja yang terserap dalam pasar tenaga kerja, maka dapur dapur pada ngepul, dan pemerintah jadi happy juga (karena roda perekonomian akan jalan, dan GDP otomatis meningkat juga).

Emang ga bisa dipungkiri bahwa sistem seperti ini banyak ga enaknya. Salah satu yang paling ga enak adalah mengenai kepastian lapangan pekerjaan.

Tapi kalo menurut saya lagi…. dibandingkan dengan ga ada kesempatan bekerja, sistem ini sedikit lebih baik. Choosing between two evil, this one is the less evil.

Masa Depan Outsourcing

Masa depan outsourcing kayaknya bakal makin meriah. Akan banyak peluang bagi perusahaan penyedia jasa outsourcing, karena banyaknya perusahaan2 besar yang makin ogah melihara pegawai.

Ini adalah peluang. Tetapi ini juga tantangan buat pemerintah. Kalo semuanya dibikin outsourcing maka akan banyak yang ga memiliki kepastian dalam dunia kerja. Ketidakpastian adalah ancaman. Apalagi kalo nantinya kita akan memasuki era perdagangan bebas.

Bisa bisa kita semua terbantai oleh tenaga kerja asing.

Anda tahu ISP ?

ISP adalah internet service provider, perusahaan yang menyediakan layanan koneksi internet.

Di Indonesia ada banyak ISP, antara lain

  • Indonet
  • CBN
  • DNet
  • Telkom (melalui telkomnet instan)
  • Indosat
  • dll dll dll

Diantara beberapa ISP, ada yang nasibnya masih berdiri tegak, tetapi ada juga yang nafasnya sudah megap megap.

Kalau dari sudut pandang saya sebagai konsumen, banyak produk dari ISP yang sekarang sudah tidak menarik sama sekali.

Berikut ini saya ambilkan contoh dari salah satu ISP.

Personal

Package Usage Registration Fee Monthly Fee Overtime Fee
xxx-0 0 hours
Rp. 50.000
Rp. 20.000
Rp. 3.000/hour
xxx-15 15 hours
Rp. 50.000
Rp. 54.500
Rp. 3.000/hour
xxx-50 50 hours
Rp. 50.000
Rp. 130.000
Rp. 3.000/hour

Note

  • All prices are subject to 10% VAT
  • For packages 0 hours (xxx-0), monthly fee payment should be made for 3 months in advances

Advantages

  • 1 login ID with 10 MB of mailbox capacity
  • Free local roaming when accessed from the 34 cities, excluding B********n
  • Free secure mail (with anti-virus and anti-spam tools)
  • International roaming access upon request

OK, kita bahas satu satu

  • Koneksi dial up

Koneksi dial up menjadi tidak menarik karena dibutuhkan pesawat PSTN yang memiliki bandwith kecil (dan banyak noise) serta keterbatasan modem dial up yang cuma mentok 56 Kbps.

  • Email blablabla@namaisp.net.id, dengan kapasitas 10MB.

Buat apa email kapasitas 10MB kalo di dunia maya sudah banyak layanan email yang bermain di angka Gigabyte bahkan unlimited ? Gmail bahkan menawarkan paket email gratis yang sangat mumpuni, lengkap dengan spam control dan antivirus. So, promosi ini sudah tidak layak dijadikan sebagai advantage.

  • Perhitungan Berdasarkan Waktu

Saat ini masyarakat sudah semakin mengenal internet. Internet harusnya sudah bukan kemewahan, tetapi sudah menjadi kebutuhan umum. Semakin sadar seseorang akan internet, semakin lama dia akan menghabiskan waktu untuk online. Perhitungan paket berdasarkan waktu saat ini justru menjadi tidak menarik, karena orang akan was was ketika online dan selalu melihat sudah berapa lama mereka online. So, lebih baik lupakan saja perhitungan berdasarkan waktu.

  • Skema Pricing yang Ga Asik.

Bayangkan, jaman sekarang masih ada Registration Fee yang cukup besar. Dan selain itu, usage yang 50 jam perbulan dengan harga 130ribu bukanlah harga yang menarik bagi customer. Untuk orang yang sangat sering berhubungan dengan dunia internet, maka 50 jam itu mungkin akan habis kurang dari 1 minggu.

ISP tidak boleh melupakan indirect competitor mereka. ISP bukan hanya head to head dengan sesama ISP, melainkan juga kepada telco service provider (perusahaan perusahaan layanan jasa telekomunikasi, seperti Indosat, Telkomsel, XL, Mobile8, dll). Mereka juga menyediakan layanan internet yang jauh lebih powerful (dengan bandwith yang lebih besar, skema pricing yang lebih kompetitif dan dihitung berdasar banyaknya data yang diambil dari internet dan bukan berdasarkan waktu). Mereka juga tidak menawarkan layanan layanan yang ga perlu (seperti email gratis tersebut).

Maka, sekarang sudah saatnya para ISP untuk bangun dari tidur panjang mereka, dan mulai menata ulang layanan yang mereka tawarkan jika mereka ingin survive.

Dalam tulisan saya sebelumnya, saya sudah menyebutkan pembagian jasa berdasarkan proses yang terjadi. Klik di sini untuk membacanya lagi. ISP termasuk dalam area Mental Stimulus Processing.

Dan seperti yang pernah saya katakan bahwa dalam pelayanan jasa yang paling penting adalah kepuasan pelanggan (customer satisfaction), maka satu satunya cara untuk memuaskan pelanggan adalah dengan mengerti kebutuhan mereka dan apa yang mereka harapkan.

Jika saya berada sebagai Marketing Manager di sebuah ISP, langkah yang akan saya lakukan adalah

  1. Pertama yang saya lakukan adalah me-review kembali layanan yang sudah ada dengan dihitung pay-off masing masing untuk mengetahui layanan mana saja yang sudah harus ditinggalkan dan mana yang masih bisa dipelihara dan mana yang harus diadakan inovasi produk.
  2. Langkah kedua adalah dengan mendapatkan consumer insight. Perusahaan jasa wajib tahu mengenai konsumen mereka, dan sebisa mungkin melibatkan konsumen mereka dalam mencapai hasil yang maksimal. Cara yang bisa saya lakukan adalah dengan melibatkan konsumen secara langsung dengan mengadakan riset kepada mereka (kemungkinan besar saya akan meminta jasa perusahaan riset) untuk mendapatkan data kuantitatif, serta mengadakan Focus Group Discussion untuk mendapatkan data kualitatif.
  3. Setelah saya mendapatkan data data mengenai pelanggan, maka hal ketiga yang saya akan lakukan adalah redefinisi STP (Segmentasi, Target, Positioning). Berdasarkan hasil masukan dari langkah pertama dan kedua, redefinisi STP adalah hal yang wajib dan tidak terelakkan jika sebuah ISP ingin tetap berdiri.
  4. Setelah ISP tersebut memiliki STP yang lebih terfokus dan lebih segar (dengan melibatkan konsumen), maka langkah selanjutnya adalah mendefinisi produk yang akan ditawarkan kepada pelanggan. Bahasa kerennya adalah Product Development. Product Development ini juga akan melibatkan team teknis, karena mereka lah yang akan menjadi “koki” di dapur layanan. Kepuasan pelanggan sebuah ISP banyak ditentukan oleh kualitas teknis.
  5. Masing masing produk tentunya akan disertai dengan marketing mix masing masing. Dan karena yang ditawarkan adalah jasa, maka ga cukup dengan marketing mix, tetapi juga ditambah dengan Integrated Service Marketing yang melibatkan 8 P, yaitu Product, Place, Price, Promotion, People, Process, Productivity and Quality serta Physical Evidence.
  6. Setelah mengantongi berbagai produk yang akan ditawarkan, maka saatnya untuk melakukan kerjasama bisnis dengan berbagai pihak yang bisa mendukung program yang sudah diatur.

Salah satu paket yang bisa diupayakan adalah : Internet kolektif. Sistemnya seperti RT/RW Net. Dalam satu RT (atau cluster di perumahaan), kita sediakan satu koneksi internet, lalu koneksi ini di-share ke seluruh warga.

Kalau ingin lebih lanjut lagi, silahkan kontak saya 🙂

Pernah ga nelpon teman tetapi ga ke HP-nya, tetapi ke kantornya ?

Saya pernah. Kira kira begini percakapannya :

Operator : “Selamat Pagi, PT xxxxxxx, ada yang bisa saya bantu ?”

Saya : “Bisa bicara dengan pak Budi ?”

Operator : “Harap ditunggu sebentar”

Lalu terdengar tat – tit – tut – tat – tit – tut (operator menekan nomor extention rekan saya)

Setelah itu akhirnya kami berbicara…. membicarakan apa saja yang tadi emang pengen dibicarakan.

Yang pengen saya bahas kali ini adalah mengenai nama perusahaan. Yang di atas saya tulis dengan PT xxxxx itu sebenarnya si penerima telpon menyebutkan nama perusahaannya. Biasanya kalo di Indonesia nama perusahaan itu selalu dibikin yang bagus dan berasosiasi keren, hebat, bagus. Well, ini biasanya untuk perusahaan perusahaan yang umurnya masih muda (kurang dari 20 tahun). Nama nama perusahaan seperti IM2 (Indosat Mega Media) terkesan canggih. Nama perusahaan seperti SMART (Sinar Mas Telecommunication) juga terkesan bagus. Demikian juga B-Tel (Bakrie Telecommunication).

Jarang sekali ada perusahaan Indonesia yang memberi nama yang unik dan lucu. Di luar negeri ada perusahaan IT yang namanya Pink Elephant (gajah merah muda). Hehehehe….. nyeleneh. Kalo ga kenal dengan nama tersebut, maka mungkin nama Apple Inc cukup mudah untuk diketahui. Apple Inc sama sekali jauh dari jualan buah apel. Malahan Apple Inc dikenal sebagai perusahaan yang paling inovatif dalam dunia IT dan sangat dihormati dengan jajaran produk hardware dan softwarenya (Macintosh, iPod, iPhone, dll dll dll ).

Memang benar sih, nama itu menunjukkan identitas. Nama adalah brand, yang menunjukkan janji kepada pelanggan. Tetapi satu hal yang perlu diingat buat para brand maker, brand haruslah unique dan memorable.

Beberapa nama perusahaan Indonesia yang lumayan aneh (tapi ini juga karena umurnya juga udah tua) antara lain :

  • Nyonya Meneer
  • Gudang Garam
  • Kawan Lama
  • Orang Tua
  • Bentoel

Nah, gimana kalo saya – sebagai seorang yang lama hidup dari dunia IT, dan saat ini sangat tertarik dengan dunia bisnis – membuat perusahaan Online Trading dengan berbasis Internet yang pertama dan terbesar di Indonesia ? (Eh, udah pernah ada belom yah ?)

Nantinya usaha ini akan banyak meniru www.amazon.com yang menyediakan katalog tentang produk produk khas Indonesia. Kerajinan2 khas Indonesia yang banyak dicuri oleh negara tetangga akan saya pajang disini. Yah, emang sedikit ada rasa nasionalisme yang terpajang disini.

Karena ini adalah online trading, maka website ini ga akan cuma berisi etalase product, tetapi ada fasilitas untuk belanja. Tentu saja saya akan bekerjasama dengan berbagai pihak yang menyediakan produk produk untuk dijual tersebut (supplier). Misalkan, saya akan menampilkan kain ulos. Begitu ada yang memesan, maka saya akan langsung kontak si supplier untuk mengirim kain ulos tersebut kepada pembeli. Begitu juga dengan batik, keris, kujang, dll dll dll dll.

Jadi, selain melestarikan kerajinan warisan bangsa Indonesia, cita cita lainnya adalah membuka jalan untuk export ke luar negeri sekaligus membuka lapangan pekerjaan bagi penduduk daerah.

Untuk masalah pembayaran, saya akan bekerjasama dengan pihak bank yang menyediakan layanan e-commerce buat usaha saya tersebut. Jadi pembeli diseluruh dunia bisa membeli dengan menggunakan kartu kredit mereka (Visa, MarterCard, JCB, Amex, dll).

Hmmm….. apalagi yah ? Product sudah. Payment sudah. Place sudah.

Price yah yang belom ? Yah karena saya cuma jadi makelar, maka soal harga akan kembali kepada supplier. Saya sih berharap harga mereka bisa kompetitif. Nantinya saya cuma akan menarik sekian persen sebagai uang marketing (mungkin sekitar 5-10%), plus ongkos kirim ke negara tujuan.

Untuk menghindari komplain dari pembeli, maka supplier akan saya wajibkan memberi garansi 1 on 1 replacement.

Nah… setelah itu semua  tersedia, maka saya harus memikirkan brand yang cukup ear catching, easily memorable, dan kalo perlu nyeleneh.

Let’s see…..

Kita ada di Indonesia…..

Ini menggunakan Internet sebagai media placement….

Bisnisnya adalah tentang Online Trading.

Gimana kalo kita gabungkan semua : Indonesia Internet Online Trading.

Singkatannya apa yah ?

Mmmmm……….

Mmmmm……….

Mmmmm……….

nickname Indonesia itu kalo di internasional dikenal sebagai ID.

Gimana kalo singkatannya adalah IDIOT ? Hehehehehehehehe

InDonesia Internet Online Trading….. disingkat IDIOT.

Besok besok, kalau ada orang yang nelpon ke kantor saya, maka resepsionis kantor akan menjawab “Selamat Pagi, IDIOT”.

Hehehehehehehe

What do you think ? Keren ga? Bakal berhasil ga?

Beberapa dari kita mungkin bekerja / berusaha dalam bidang jasa. Nah, jasa (service) itu luas banget. Dari salon, bengkel, bank, bioskop, cafe, dll dll dll dll.

Nah, buat yang masih bingung, bisnis jasanya termasuk yang seperti apa, mungkin saya bisa bantu sedikit dengan memberikan mapping.

Nah, table berikut mungkin bisa membantu kita dalam mapping.

Who or what is the direct recipient of the service
Direct at People Direct at Possession
What is the nature of the service Tangible People Processing Possession Processing
Intangible Mental Stimulus Processing Information Processing

Cara bacanya begini….

  • People Processing adalah jika yang dilayani adalah langsung kepada si customer, dan bisa terlihat. Contoh : Salon. Rambut si customer kelihatan khan?
  • Possession Processing adalah jika yang dilayani benda (yang bisa diraba / dilihat) milik customer. Contoh : Bengkel mobil. Si customernya ga ikutan diperbaiki khan ? Hehehehe
  • Mental Stimulus Processing adalah jika yang dilayani adalah langsung si customer, tetapi tidak bisa dilihat secara langsung. Contoh : bioskop. Yang dilayani adalah mental si Customer (dengan film2 komedi, action, drama, horror, dll dll dll).
  • Information Processing adalah jika yang dilayani adalah benda milik customer yang tidak terlihat. Contoh : Bank. Kalo kamu ke bank, yang diolah oleh mereka adalah informasi hak kepemilikan kamu. Uang kamu berapa…. transfer ke mana…. dll dll dll.

Cara penanganan untuk tiap tipe processing jelas beda beda. Tetapi intinya tetap sama kok, yaitu kepuasan pelanggan. Kepuasan pelanggan adalah diatas segalanya.

Untuk usaha salon (people processing), pastikan pelanggan merasa cozy dengan ruangan salon, karena dari situ mereka akan memiliki persepsi mengenai layanan pada saat pertama kali mereka masuk (walaupun belom diapa apain). Pastikan potongan rambutnya benar benar sesuai dengan karakter mereka. Pastikan juga bahwa pegawai yang berada didepan (yang langsung berinteraksi dengan pelanggan) adalah yang ramah.

Untuk usaha bengkel (possession processing), yang menjadi titik tumpu kepuasan pelanggan adalah kualitas pekerjaan para montir, dimana mereka harus bisa memperbaiki kerusakan tepat sasaran dan cepat. Kebutuhan akan keahlian montir jauh lebih tinggi daripada tingkat keramahan (walaupun keramahan tetaplah harus diperhatikan).

Untuk usaha bioskop (mental stimulus processing), yang menjadi titik tumpu kepuasan pelanggan adalah kepuasan mereka ketika mereka mengalami proses jasa. Beberapa customer berani membayar lebih mahal untuk kualitas yang lebih bagus (ruang studio yang lebih nyaman, sound system yang lebih stereo, dll). Oleh sebab itu, proses ketika “jasa di-deliver” ke pelanggan adalah saat saat paling menentukan. Mereka akan kecewa ketika pertunjukan berlangsung ternyata Air Conditioning tidak bekerja baik, atau bila suara tiba tiba hilang, dll.

Untuk usaha bank (information processing), masalah kepercayaan dan kemudahan adalah yang menjadi titik tumpu. Bank yang sering mengalami kegagalan transaksi akan mengakibatkan customer kecewa dan berpaling ke bank lain. Bank yang ATM-nya susah didapati dan ga bisa internet banking  bukanlah bank yang menarik.

Di era sekarang, usaha jasa adalah yang paling gampang dimulai tetapi juga paling mudah berhenti. Pasar yang digarap tidak banyak berubah (dalam hal kuantitas). Yang akan menentukan keberhasilan adalah (lagi lagi) kepuasan pelanggan.

Semenjak internet mulai merajalela, banyak yang menggunakan internet sebagai sarana promosi, baik dengan cara yang mahal maupun cara yang murah.

Cara yang mahal adalah

  1. Beriklan dengan memasang banner / link di portal portal yang sering dikunjungi orang (misal http://www.detik.com, http://www.friendster.com, dll dll dll).
  2. Membuat website sebagai sarana promosi.

Sementara yang menggunakan cara murah meriah adalah dengan

  1. Mengirim email
  2. Membuat blog

Soal cara mahal maupun cara murah, semuanya tergantung kemampuan finansial dari perusahaan yang akan berpromosi. Mau murah atau mahal tetap dibutuhkan sebuah kreatifitas untuk memasarkan produk tersebut.

Nah, belakangan ini saya mulai terganggu dengan ulah beberapa orang yang mencoba menggunakan fasilitas email sebagai sarana berpromosi dengan melanggar etika. Cara yang digunakan adalah  :

Ikutan milis tertentu (misal Marketing Club)

Mengambil alamat email dari member yang aktif

Memasukkan dalam list untuk dikirim

Kirim email kepada orang tersebut dengan berbagai cara. Entah dengan software untuk ngespam, entah dengan membuat milis tersendiri untuk mendistribusikan email tersebut (misal dengan membuat filter atau autoforward), entah dengan menyuruh pegawai kantornya untuk nge-forward email yang seakan akan mereka terima dari orang lain (dan dianggap bagus).

Sejujurnya, cara cara tersebut adalah cara tercepat untuk bunuh diri.

Come on…… orang – orang yang biasa beremail ria bukanlah orang – orang bodoh. Kalau mau dilihat secara lebih dalam, maka SES mereka biasanya masuk di B keatas. Dan kalau untuk orang orang yang SES-nya B keatas, maka spam adalah hal yang menjengkelkan. Dan kalau mereka sudah sebel maka udah pasti nama perusahaan yang nge-spam akan dimasukkan dalam blacklist mereka. Padahal kalo mau jujur, justru kalangan B keatas itulah yang dituju oleh para online marketer tersebut.

Lihatlah bagaimana para spammer justru menutup peluang bisnisnya dengan sebuah kegiatan Marketing.

Ah, seandainya sama para marketer itu belajar tentang U-point….. mereka bisa melakukan hal yang lebih baik.

Ah… Aku Malu…..

Photobucket

Tgl 26 Januari 2008 kemarin, saya menghadiri reuni SMA. Well, not a real reuni sih… karena emang ga resmi dan target pesertanya ga banyak banyak amat. By the way, dulu saya sekolah di SMA 39 mulai tahun 1992 – 1995. Ketika penjurusan (lebih tepatnya penjerumusan), saya memilih masuk A1 atau jurusan Fisika, semata mata karena gengsi. Dulu di otak saya, anak2 Fisika itu kumpulan anak anak yang cerdas, sementara anak anak Sos itu kumpulan orang orang buangan. Ternyata saya salah. Saya keteteran belajar di Fisika. Dan pada saat umur saya mendekati 20an akhir, saya bener bener lebih tertarik dengan dunia bisnis ketimbang dunia teknis. Hehehehehe.

OK, back to the reunion.
Ketika panitia mulai ngomporin temen temen untuk ikutan acara, saya termasuk yang ikutan repot ngomporin temen temen. Minimal temen temen se-gank waktu SMA dulu. Maksudnya temen se-gank adalah teman nyontek. Hahahaha

Jujur aja, saya emang mencari “pasukan” buat sama sama datang ke reuni karena takut nantinya saya akan cengo disana (karena takutnya yang datang ngga ada yang pernah akrab dengan saya waktu jaman SMA dulu). Satu persatu saya hubungi teman teman saya melalui sms ataupun saya telpon langsung.

Jawaban yang saya terima ternyata seragam :
* Siapa aja Man yang bakal dateng ?
* Gue males ah kalo ga ada anak anak (maksudnya temen se gank dulu), ntar gue cengo lagi disana….

Sigh….

Ada yang memakai alasan2 lain yang lebih halus, seperti ada acara keluarga, ada kerjaan, ada persekutuan di gereja dll dll.

Oh come on…. ga tiap hari lho reunian.
Setelah lulus tahun 1995, inilah pertama kalinya kita ketemuan lagi. COME ON…. It’s been 12.5 years.

Anywey…. let’s forget about what happened. The occasion was succesful, and I feel so sorry for those who can not (or wont) attend it. It’s their lost.

Let’s talk about the barrier.

Apa yang terjadi di teman teman saya, kemungkinan besar merupakan sample terhadap populasi sebagian besar masyarakat Indonesia.
Rasa malu dan tidak percaya diri (bahwa teman2nya masih mengenal mereka atau bahkan teman2nya merindukan untuk bertemu dengan mereka) mengakibatkan mereka enggan untuk hadir. Yup… rasa MALU telah mengakibatkan mereka enggan untuk melangkah.

Ada banyak sekali nilai positif dari acara reuni tersebut… peluang usaha, peluang bisnis, peluang asmara (hehehehe, masih ada temen2 yang jomblo) dan peluang peluang lainnya. Bayangkan, si A kerja di PT X, dan si B ternyata membutuhkan layanan yang bisa diprovide oleh PT X. Si A dan si B bisa saling memberi informasi dan membuat roda bisnis mereka berputar.

Rasa MALU membuat teman teman kehilangan kesempatan untuk mendapatkan keuntungan.
Hitunglah berapa besar kerugian yang diakibatkan karena rasa MALU.

Di kejadian lain, seorang teman bercerita betapa malunya dirinya untuk memberikan sebuah kado ultah bagi temannya yang ditaksirnya. Sampai saat ini, teman saya masih tidak berani memberikan kado ultah tersebut. Ah, sayang sekali…

Minder, malu, ga pede dan saudara saudaranya adalah bahaya dari dalam diri sendiri yang seharusnya bisa dieliminasi. Rasa malu beralamat di area yang termasuk dalam comfort zone. Dan yang namanya Comfort Zone sebenarnya merupakan zona paling berbahaya dalam kehidupan seseorang. Most deadly zone in someone’s life.
Sekali saja kita tinggal dalam comfort zone, maka kita akan berhenti bergerak dan mulai berpuas diri.

Lalu apakah kita ga boleh sekali sekali merasa “aman” ? Oh ya bolehlah. Tapi jangan terlalu lama berada di area tersebut. Life is a journey, not a destination. You only can stop and rest in destination.

Di sebuah desa Marketing, ada 2 orang pemuda yang jatuh hati kepada seorang gadis. Keduanya adalah Rudi dan Budi. Kebetulan mereka berdua sama sama bekerja sebagai buruh tani di desa marketing tersebut. Maka mereka pun melakukan segala upaya untuk memperebutkan hati Siti, gadis idaman mereka, kembang desa Marketing.

Rudi menunjukkan kepandaian otaknya dan mencemooh Budi yang sempat ga naik kelas waktu SMP dulu. Budi membalas dengan mencemooh Rudi yang fisiknya tidak sekuat Budi. Rudi membalas lagi dengan mengatakan Budi jorok karena jarang mandi. Budi tidak mau kalah dengan membalas bahwa walaupun Rudi sering mandi tetapi badannya sering bau.

Mereka terus terusan berkompetisi memperbutkan hati Siti.

Siti bingung harus memilih yang mana. Di tengah kebingungannya itu, Siti bertemu dengan Mang Ujang, tukang sayur langganannya. Melihat Siti yang termenung didepan rumahnya, Mang Ujang bertanya : Ada apa Neng ?

Lalu Siti menceritakan permasalahan yang dihadapinya. Baik Rudi maupun Budi sama sama memiliki kelebihan masing masing. Mereka bertiga sudah berteman semenjak sama sama masuk SD.

Mang Ujang mendengarkan dan memberi beberapa pengertian2 bijaksana.Hal tersebut terjadi berulang kali selama beberapa bulan. Budi masih sibuk “berkelahi” dengan Rudi…. Siti masih tetap bingung. Lama lama Siti jadi semakin akrab dengan Mang Ujang. Dan lama lama Siti makin merasa nyaman dengan sikap Mang Ujang.

Ujung ceritanya bisa ditebak khan ? Yang mendapatkan hati Siti adalah Mang Ujang. Budi dan Rudi terlalu sibuk berkelahi sampai akhirnya mereka sama sama kalah.

What’s the message ?

Sering kali kitapun demikian. Kita memiliki kompetitor yang head to head dengan product kita. Kita pun perang berdarah darah dengan kompetitor tersebut. Kita sibuk banting harga. Kita sibuk menjelek jelekkan pesaing. Kita sibuk mengusung keunggulan produk kita. Saking sibuknya kita dengan kompetitor langsung (direct competitor) tersebut kita tidak sadar akan kehadiran indirect competitor yang masuk gelanggang.

Indirect competitor justru berpotensi merusak pasar yang telah kita pegang. Dan biasanya jika keberadaan mereka terlambat diketahui (dan terlambat diantisipasi) kita baru akan merasakan kaget ketika dalam laporan akhir tahun diketahui bahwa profit kita menurun dan market share kita juga berkurang.

Lihatlah bagaimana PT Kereta Api yang terlanjur terbuai dengan posisi sebagai market leader untuk jasa transportasi Jakarta – Bandung PP dengan kereta Parahyangannya. Dalam masa jasanya, kereta tersebut selalu penuh. Hampir tiap jam berangkat dari Gambir (Jakarta) maupun Station Hall (Bandung). Yang lebih mantap adalah kereta tersebut tidak memiliki kelas ekonomi. Cuma ada kelas bisnis dan eksekutif. Tarif yang dikenakan kepada penumpang pun jauh lebih mahal untuk kelas yang sama daripada tarif Jakarta – Cirebon (yang jaraknya lebih jauh). Keberadaannya sebagai BUMN yang bisa memonopoli jalur kereta tersebut (benar benar tanpa saingan) membuat jalur Parahyangan adalah cash cow bagi PTKA. Untuk mengeruk untung makin besar, PTKA bahkan membuka kereta dengan kelas paling mahal, yaitu kelas ARGO. Maka meluncurlah ARGO GEDE sebagai “pesaing” Parahyangan. Well, tentu saja mereka berdua tidak bersaing. ARGO GEDE tidak lain hanyalah Parahyangan yang di upgrade dan diberikan prioritas lebih.

Ketika itu jalur darat lainnya tidak mampu bersaing dengan Parahyangan. Jalur udara pun cuma sedikit yang melirik rute Jakarta – Bandung (Cengkareng – Hussain Sastranegara).

Dan akhirnya masa itu harus berakhir, ketika Jalan Tol Cipularang (Cikampek – Purwakarta – Padalarang) mulai beroperasi tahun 2004 yang lalu. PTKA tidak siap dan tidak mengantisipasi kehadiran indirect competitor.

Parahyangan mendadak kehilangan pelanggan. Sekarang orang bisa menempuh Jakarta – Bandung dengan kendaraan pribadi (atau travel) hanya dalam 2 jam. Parahyangan tetap membutuhkan 3 jam lebih untuk sampai di Bandung. Upaya upaya perbaikan layanan yang dilakukan oleh PTKA akhirnya cuma tindakan reaktif yang seharusnya dilakukan dari dulu sebagai tindakan preventif.

Tentunya hal itu tidak ingin kita ulangi khan ? Oleh sebab itu, hati hatilah dengan semua indirect competitor anda. Pasang radar tinggi tinggi. Tutuplah celah yang memungkinkan kebocoran. Dan jangan hanya terfokus kepada direct competitor anda.

Gimana dengan PSSI ?

Logo PSSIBerikut ini pertanyaan dari saudara Gersom Nainggolan yang ditinggalkan di bagian comment di tulisan “Berpikir ala Rafael Benitez“.

Man,
kalau menurut sampean, karakteristik pelatih PSSI kita mestinya bagaimana?
sudah tentu kalau kesebelasan negara ngga bisa blanja blanji khan….jadi point blanja-blanji nya di kesampingkan.
bisa maju ngga pssi kita Man? atau perlu nggusur si Nurdin Halid dulu….?
: )

Wah, pertanyaan yang susah dijawab nih. Tetapi saya tertarik untuk membahas secara serius (karena menyangkut tentang manajemen).

Dari sini saya akan membagi permasalah menjadi 2, yaitu problem PSSI sebagai organisasi, dan problem persepakbolaan Indonesia yang miskin prestasi. Sebenarnya keduanya saling berkaitan, tapi supaya gampang, kita pisah aja.

Problem Organisasi PSSI

Problem PSSI adalah status quo dari pengurus pengurus yang ga pernah berubah. Kebanyakan pengurus di organisasi tersebut adalah orang orang lama yang (sorry to say) tidak kompeten. Banyak yang menuding PSSI tidak profesional. Yah gimana mau profesional kalo pengurusnya ga fokus ke PSSI saja, tetapi kebanyakan adalah orang orang yang punya kerjaan lain. Kalo pengurusnya cuma mengurus organisasi sebagai “hobi” atau “mengisi waktu” atau “demi popularitas” yah jangan harap prestasinya bagus. Kenapa demikian ? Begitu “hobi”nya sudah tersalurkan, begitu waktunya sudah terisi, begitu sudah populer… maka orang orang tersebut sudah mencapai tujuannya.

Lalu kalo gitu siapa yang harusnya ditunjuk untuk mengisi kepengurusan PSSI ? Jawaban saya sih simple aja…. Orang yang kompeten. Dan orang orang yang kompeten tersebut HARUS dibayar secara profesional dan bekerja secara fulltimer.

Orang yang ngurusin kompetisi haruslah orang yang punya strategi yang cocok untuk pasar Indonesia. Orang tersebut harus memiliki jiwa Marketer yang mampu menjual sepakbola ke level yang lebih tinggi. Sebenarnya kehadiran marketer harusnya ga cuma di level PSSI, tetapi sampai di level klub agar mereka mampu menjalankan hidup dalam kompetisi yang panjang dan ga melulu tergantung dari subsidi.

Secara lebih jauh, wasit dan hakim garis yang bekerja pun wajib dibayar dengan gaji yang disesuaikan dengan levelnya. Peranan pengadil lapangan sangatlah penting apabila ingin memiliki kompetisi yang berbobot. Wasit harus memiliki peringkat yang menentukan besaran gaji yang mereka terima. Kalo bisa seluruh wasit PSSI yang memimpin pertandingan dari level kompetisi terendah sekalipun harus dipekerjakan secara fulltimer juga.

Nah kalo problem organisasi bisa diatasi dengan baik, maka kompetisi akan berlangsung lebih baik dan diharapkan lebih adil. Jika hal ini telah dicapai, maka pembenahan selanjutnya adalah masalah teknis yang lebih mudah dilakukan.

Problem Teknis Sepakbola.

Apabila kompetisi berjalan mulus, maka akan banyak sekali keuntungan yang didapatkan. Reputasi sepabola Indonesia akan meningkat (ga lagi olahraga rusuh, tapi olahraga yang sporty). Sponsor akan masuk, ga cuma ke PSSI tetapi juga ke pihak klub. Dengan sisi finansial yang kuat, harusnya tontonan sepakbola juga semakin baik. Pemain ga lagi harus pusing dengan gaji yang belum dibayar oleh klub. Pemain juga ga perlu belajar olahraga lainnya (misal pencak silat) hehehehehehe. Dengan naiknya kasta sepakbola Indonesia, maka diharapkan minat orang bermain bola semakin besar, dan bakat2 natural bisa ditemukan lebih banyak.

Dengan tingkat kriminalitas yang menurun, diharapkan sisi teknis akan semakin baik. Hal ini akan berimbas pada tim nasional. Kita tinggal mencari sosok pelatih yang cocok dengan kondisi sepakbola Indonesia. Berikan target juga yang realistis, jangan langsung jadi juara piala Asia. Sepakbola ga bisa dibangun dengan jurus instant. Harus melalui evolusi yang panjang.

Nah kalo sudah demikian, rasanya sepakbola Indonesia sudah bisa mulai dijual sebagai industri.

Berpikir Ala Harry Redknapp

Harry Redknapp dikenal orang sebagai pelatih yang rada rada magician. Dia hampir selalu berhasil membawa pasukannya bertahan di EPL.

Dia pernah menangani beberapa klub, dan dua yang paling sukses antara lain West Ham United dan Portsmouth.

Banyak orang yang menyebutnya sebagai seorang Wizard karena dia selalu mampu menyulap klub gurem menjadi klub yang agak kinclong. Saya setuju dengan julukan tersebut.

Kebijakan transfer Redknapp menurut saya rada rada aneh (tetapi briliant). Dengan kemampuan finansial yang pas pasan, Redknapp berhasil membangun Portsmouth menjadi team yang ga bisa dibilang sebagai gurem. Bahkan medioker pun tidak.  Sampai dengan blog ini dibuat, Portsmouth berhasil duduk di peringkat 5 sampai 7. Untuk EPL, posisi tersebut akan membawa mereka ke pentas Eropa dalam piala UEFA. Mungkin emang rada sulit untuk menembus 4 besar yang kayaknya ga akan jauh jauh dari Arsenal – MU – Chelsea – Liverpool, tapi untuk posisi 5 rasanya mungkin kok.

Nah, sekarang kita bahas pola pikir Om Redknapp (dari pola transfer pemain yang dilakukan).

Mengetahui bahwa Portsmouth bukanlah team impian pemain pemain top, maka Redknapp cukup tahu diri dengan tidak mengejar pemain bintang dalam masa keemasan mereka. Coba bandingkan berapa jumlah uang yang mereka belanjakan dengan team lain. Banyak team yang sudah membelanjakan uang banyak tetapi prestasinya justru makin memble (misalkan Tottenham Hotspurs).

Maka ga heran, Redknapp justru berlaku sebagai “pemulung”. Dia mengkoleksi pemain pemain bintang yang mulai memasuki masa suram (duilee…. masa suram). Maksudnya… pemain bintang yang mulai disingkirkan oleh klub masing masing. Tugas Redknapp hanyalah mengembalikan masa kejayaan para pemain tersebut.

Ga heran kalo akhirnya Redknapp justru menampung Sol Campbell (dari Arsenal), David James (dulunya sempat jadi andalan Liverpool), Lauren Bissant (dari Arsenal), Glenn Johnson (dari Chelsea), Nwanko Kanu (sempat jadi tandem Dennis Bergkamp di Arsenal).

Kenapa Redknapp mau menampung pemain pemain tersebut ? Kayaknya sih simple… karena Redknapp mau memberikan kesempatan bagi mereka untuk membuktikan diri bahwa mereka belum “habis”.

Pemain pemain bagus tersebut mungkin sudah mulai memasuki usia tua (untuk pemain sepakbola) sehingga secara fisik sudah tidak mumpuni lagi untuk berlaga dengan pemain muda. Tetapi Redknapp tidak hanya membeli kebugaran fisik. Dia membeli “pengalaman” dan skill dari pemain pemain tersebut.

Nah, untuk mendukung pemain pemain tua tersebut, Redknapp mengkombinasikan dengan pemain pemain muda dengan tipikal memiliki semangat juang yang tinggi. Maka klop sudah semuanya. Pengalaman + fisik + skill = good team.

Pelajaran apa yang bisa kita petik dari pola pikir Redknapp ?

“Team yang bagus dan solid tidak harus dibangun dengan materi bintang yang mahal.”

Apabila kita memiliki keterbatasan dana untuk merekrut pegawai yang mahal, hal itu ga menutup semua kemungkinan untuk maju. Pada hakekatnya manusia memiliki kemampuan yang berbeda beda. Asalkan kita cukup jeli melihat kemampuan seseorang (yang dianggap sudah tidak mampu bersaing di perusahaan lain), kita bisa mengambil keuntungan. Berikan kesempatan yang tidak didapatkan orang tersebut di perusahaannya yang lama, dan nikmatilah hasilnya.

Rekrut juga orang orang yang memiliki semangat juang yang luar biasa. Jangan merekrut para trouble maker (walaupun secara sekilas mereka terlihat sangat jempolan, tetapi dalam jangka panjang justru akan meracuni kinerja team).

Siapa bilang low budget berarti minim prestasi ?